Memperingati 50 hari menginap di dewan, korban lumpur menggelar mimbar bebas yang mengecam dewan dan Bupati Sidoarjo yang tidak maksimal dalam memperjuangkan nasibnya.
“Bupati dan Dewan mempunyai wewenang untuk ikut menyelesaikan masalah lumpur. Kami ini sudah hampir lima tahun menderita akibat lumpur Lapindo. Bupati sebagai kepala daerah harusnya bisa menggunakan wewenangnya dalam menyelesaikan masalah ini,” ujar Wiwik, korban lumpur asal Siring, dalam orasinya, Jumat (24/9) sore.
Massa mengaku akan bertahan di gedung dewan, karena gedung itu milik rakyat. Sehingga, jangan sampai ada pihak yang ingin mengusir korban lumpur karena bertahan di pintu gerbang gedung dewan. “Kami sudah lama menderita. Kami di sini berjuang menuntut hak kami yang sudah ditenggelamkan lumpur,” imbuh Salamun, korban lumpur asal Renokenongo.
Mereka mengaku sudah mendengar kalau ada sejumlah dewan yang meminta mereka pindah, karena keberadaan korban lumpur yang sudah 50 hari menginap di depan pintu gerbang gedung dewan mengganggu aktifitas dewan. Bahkan, mereka dideadline sebelum pelantikan bupati dan wakil bupati Sidoarjo terpilih sudah harus hengkang dari tempat itu.
Warga mengaku kalau nantinya disuruh hengkang , mereka akan pindah ke Kantor Gubernur Jatim di Surabaya. Karena, menurut warga, perjuangan agar ganti rugi segera dibayar belum selesai. “Kemana lagi kami mengadukan nasib ini. Di sini rumah rakyat, sudah seharusnya wakil rakyat ikut memperjuangkan kami,” imbuh korban lumpur lainnya.
Dalam aksinya, puluhan korban lumpur duduk melingkar di atas terpal yang dijadikan alas di depan tenda yang selama ini digunakan tempat untuk menginap. Bukan saja bapak-bapak yang berorasi, ibu-ibu, bahkan nenek-nenek pun juga ikut berorasi menuntut agar ganti rugi segera dibayar.
Mimbar bebas yang digelar korban lumpur itu bisa dibilang spontan, setelah 50 hari menginap di tempat itu. Bukan hanya tenda dan selimut, korban lumpur juga membawa kompor, lemari dan kebutuhan dapur lainnya. Pintu masuk gedung dewan, bak tempat pengungsian baru karena setiap malam puluhan korban lumpur menginap di tempat itu.
Sejauh ini warga mengaku mengaku masih akan bertahan sampai tuntutannya yaitu pemerintah mengucurkan dana talangan untuk ganti rugi ada kejelasan. “Warga sepakat akan bertahan di sini sampai tuntutannya dipenuhi. Kami di sini berjuang, biar pemerintah tahu bagaimana kondisi korban lumpur,” ujar Muhammad Zainal Arifin, koordinator korban lumpur asal Renokenongo.
Setiap hari antara 50 sampai 60 orang berada di tempat itu. Meski demikian, korban lumpur mengaku ingin mencukupi kebutuhannya sendiri selama menjalankan aksi itu. Apalagi, selama ini bisa dikatakan sudah tidak ada rasa simpati dari wakil rakyatnya yang setiap hari ngantor di dalam gedung dewan.
“Kami di sini berjuang untuk nasib kami. Ini gedung rakyat, biarkan kami berada di sini. Karena dengan demikian pemerintah bisa tahu. Walaupun diusir sekalipun kami akan bertahan di sini. Satu tuntutan kami, segera bayar ganti rugi,” tandas korban lumpur lainnya.
Muhammad Zainal Arifin mengaku dia membaca di media sudah ada angin segar dari gedung DPR kalau pemerintah bakal mengalokasikan dana talangan untuk ganti rugi korban lumpur dalam APBN 2011. Namun, sejauh ini belum ada kejelasan apakah dana itu sudah dimasukkan dalam RAPBN atau belum.
Jika warga mengakhiri aksinya, pemerintah tidak akan memandang lagi ganti rugi lumpur sebagai masalah yang harus segera diselesaikan. Aksi seperti ini untuk menggugah semua pihak bagaimana sebenarnya penyelesaian lumpur yang sampai saat ini belum terselesaikan. Presiden harusnya tahu kalau masih banyak masalah yang belum diselesaikan terkait penanganan lumpur.(okezone/Koran SI/)
Written by: Paling Seru
Paling Seru, Updated at: 13.40
0 komentar:
Posting Komentar