Home » » Kematian di Mata Dokter dan Ulama

Kematian di Mata Dokter dan Ulama

Kemajuan teknologi kedokteran tak hanya menggeser nilai-nilai kehidupan, melainkan juga mengubah sejumlah definisi yang sudah baku. Definisi tentang mati, misalnya. Dulu, seorang anak Adam dikatakan meninggal jika nyawanya berpisah dengan jasadnya. Tapi berkat kemajuan dunia medis, muncul berbagai definisi, umpamanya mati secara klinis, mati otak, atau terhentinya detak jantung. Semua definisi ini, oleh sebagian ulama, belum disebut mati.
Meski sudah dibahas puluhan kali, masalah ini kembali menjadi bahan perbincangan di Mesir, awal Oktober lalu. Pasalnya, Syekh Muhammad Sayyid Thantawi, Mufti Mesir, ketika berkunjung ke Arab Saudi, September lalu, mengeluarkan pernyataan, “Boleh melakukan pencangkokan organ tubuh pada orang yang dinyatakan dokter mati otak untuk pasien yang membutuhkannya.”
Tapi persoalannya, dalam dunia medis sendiri masih terdapat perbedaan pendapat tentang mati. Beberapa negara, sebagaimana ditulis Dokter Kartono Mohamad lewat buku Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Biotika, menyusun sendiri-sendiri kriteria mati. Persatuan Dokter Swedia (1972), misalnya, menekankan pada matinya batang otak. Itu kemudian diikuti Jepang (1973), Inggris (1976), dan Kanada (1981). Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dalam musyawarah kerjanya di Medan, 1987, menetapkan “manusia mati jika batang otaknya tak berfungsi lagi”. Tapi ada pula yang menentukan mati dengan melihat kegiatan elektrik otak besar (EEG).
Pandangan Syekh Thantawi, Mufti Mesir tadi, bertentangan dengan para ulama tradisional. Itu sebabnya “fatwa” Syekh Thantawi tersebut mengundang debat. Para ulama dari kubu tradisional, termasuk Syekh Al-Azhar dan Gadel Haq Ali Gadel Haq, menentangnya. “Pendapat itu tak benar,” kata Gadel Haq. Sebab, kata Syekh Al-Azhar itu, “Terhentinya mekanisme saraf di otak itu bukanlah satu-satunya tanda kematian yang menyatakan lenyapnya kehidupan.” Menurut Gadel Haq, kalau masih ada degup jantung atau pernapasan, menunjukkan orang tersebut masih hidup. “Karena itu haram diambil bagian tubuhnya,” kata Syekh Gadel Haq.
definisi mati Kematian di Mata Dokter dan UlamaPandangan Doktor Abderrahman al Adawy, Guru Besar Fikih Universitas Al-Azhar, tak jauh berbeda dengan fatwa Syekh Al- Azhar. “Bila kita tak bisa mengatakan mati otak sebagai kematian total bagi manusia maka fatwa tak bisa diletakkan di atasnya,” kata al Adawy.
Yang sependapat dengan Syekh Gadel Haq di luar lingkungan Universitas Al-Azhar cukup banyak. Di antaranya Doktor Ahmad Syarafuddin, guru besar hukum Islam Universitas Ain Shams; Doktor Safwat Luthfy, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Kairo; dan Doktor Hatem Sa’ad Ismael, ahli hukum medis.
Ahmad Syarafuddin, tokoh yang tadinya paling gigih minta agar Mesir memberi perlindungan hukum terhadap pemindahan organ tubuh orang yang baru mati atau mati otak, setelah berdikusi dengan dokter ahli, mencabut usulnya. Sementara itu Doktor Safwat Luthfy menganjurkan agar hati-hati mengeluarkan hukum atas aktivitas pencangkokan organ tubuh manusia. “Sebaiknya kita berhati-hati mengeluarkan payung hukum untuk suatu aktivitas yang kurang jelas juntrungannya itu,” kata Luthfy. Soalnya, bagi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Kairo ini, mati otak atau mati klinis atau sederet nama lainnya adalah istilah yang menyesatkan opini umum dengan tujuan untuk menyembunyikan kematian yang sebenarnya. Sebagian dokter, menurut Luthfy, bahkan menyembunyikan donor yang berkualitas dengan istilah “sukarelawan yang masih punya detak jantung”. Nilainya memang bagus karena organnya masih segar.
Doktor Hatem berpandangan lebih keras lagi. “Memotong organ tubuh orang yang masih hidup, kendati hanya tinggal napas dan denyut jantung, adalah tindakan kriminal yang sama dengan pidana pembunuhan atas jiwa seseorang,” kata Hatem.
Maka untuk menuntaskannya, organisasi forensik Mesir mengundang sejumlah ulama, ahli hukum medis, dan para dokter ke Hotel Nile Hilton, Kairo, awal Oktober lalu. Dan sebagai pembicara utama ditunjuk Syekh Thantawi, sang Mufti. Dalam pertemuan tersebut, Syekh Thantawi — tokoh yang mendapat tantangan dari berbagai pihak — menjelaskan duduk persoalannya. Ulama yang dikenal berpandangan longgar ini membantah pernah mengeluarkan fatwa yang menghebohkan tersebut. Bahkan berulang- ulang ia bersumpah tak mengucapkannya. “Ucapan saya tersebut dikutip secara keliru oleh sementara media massa,” kata Syekh Thantawi.
Yang diucapkan Syekh Thantawi adalah, “Yang paling tahu tentang soal mati adalah para dokter.” Sayang, katanya, para dokter masih berselisih pendapat dalam definisi mati. Di sinilah jelas muncul masalah. Syekh Thantawi memang tak keberatan dengan pencangkokan organ tubuh. Sebab, katanya, “Sebagian besar ulama fikih membolehkan pemindahan organ tubuh dengan cara sukarela.” Artinya, pemindahan organ tersebut dilakukan bukan lewat jual beli. Fatwa semacam ini, kata Syekh Thantawi, sudah bertahun-tahun terdapat di kantor Dar al Ifta, tempat Syekh Thantawi bekerja. Sebaliknya, yang menolak punya alasan bahwa manusia itu milik Allah. “Terhadap apa yang dimiliki Allah, manusia tak boleh memperlakukannya semaunya,” kata Syekh Thantawi.
Di Mesir, hingga kini, pendapat yang menentang pencangkokan organ tubuh manusia tersebut lebih besar daripada yang mendukung. Tapi lepas dari setuju atau tidak, ahli forensik Doktor Gamaluddin Saleh tetap menilai penting adanya aturan main terhadap pencangkokan organ tubuh manusia. “Sebab, bila tak dijelaskan secara hukum, baik diperkenankan maupun tidak, akan merugikan status legalitas sosialnya,” kata Saleh. Tapi hingga kini titik temu dalam soal ini belum muncul.
Julizar Kasiri (Jakarta) dan Dja’far Bushiri (Kairo)
Written by: Paling Seru
Paling Seru, Updated at: 09.44

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.