Eyang Santri yang nama muda-nya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran, karena ia cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu : Pangeran Prabuamidjojo, di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.
Pangeran Djojokusumo lahir pada tahun 1770, di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.
Pada tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.
Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa.
Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.
Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.
Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.
Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.
Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.
Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.
Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.
Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.
Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagi Wahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.
Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.
Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, -hidup abadi- dalam terminologi India? Yang jelas eyang santri wafat tahun 1829 di usianya yang 159 tahun.
Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri kepada Bung Karno.
Written by: Paling Seru
Paling Seru, Updated at: 15.53
0 komentar:
Posting Komentar